Jumat, 15 Juni 2012

Haris Purnomo dan Gagasan ‘Roemah 9A’


LAMA tak bertegur sapa, tak melihatnya melukis , serta mengunjungi pamerannya; tiba-tiba Mas Haris berkabar, ingin ketemu. Pesannya disampaikan melalui suami saya. “Kapan?” tanya saya. “Terserah. Kapan punya waktu?” suami saya bertanya balik via BBM. Saya putuskan saja: ntar sore, usai jam kantor! Mumpung saya belum terjebak dinas ke luar kota. 

Selewat pukul 19.00, Jumat 4 Mei lalu, kami akhirnya memang ketemu. Dari kejauhan, saya udah menangkap sosoknya: duduk menghadap ke jalan, di sebuah tempat nongkrong beraroma Bandung yang letaknya hanya selemparan batu dari rumah saya: kafe Cisangkuy, Kota Wisata, Cibubur. Semeja dengan Mas Haris, ada teman-temannya sesama seniman: Mas Umbu Tangela, Mas Hendro Pratiknyo, Mas Dirman Saputra, dan … ehm …mantan pacar saya, pasti.

Where is My Baby?

Ada dua hal yang membuat saya antusias ketemu dengan Mas Haris – lengkapnya Haris Purnomo. Pertama, tentu karena karya rupa. Dan yang kedua, tentang sebuah gagasan yang akan saya ceritakan belakangan.

Yang pertama dulu: ihwal karya rupa, lukisan. Tak cuma saya yang makin sulit mengunjungi pamerannya, pasti. Tapi juga sejumlah penikmat yang diam-diam mungkin mengangumi lukisan Mas Haris. Apa pasal? Sederhana saja: pamerannya kini lebih banyak berlangsung di mancanegara, di galeri-galeri dan pameran akbar yang digelar di sejumlah tempat-tempat tersohor. Lukisannya yang sangat khas – bayi bertato dan/atau dibedong – termasuk banyak diincar kolektor, diburu di balai lelang – termasuk Christie’s, dengan harga yang mengundang decak kagum.

Haris Purnomo kini memang bukan Haris Purnomo yang saya kenal pertama kali dulu. Namanya saat ini melambung menyalip sejumlah perupa terkemuka Indonesia. Beberapa tahun belakangan, seperti yang dikisahkan suami saya, karyanya melanglang buana, mengisi sejumlah pameran di Hong Kong, New York, Zurich, Milan, hingga Praha. Di tahun 2007, Haris Purnomo bahkan tercatat menerima penghargaan seni: The Schoeni Public Vote Prize, Sovereign Asian Art Award, Hongkong.

Dari sejumlah kisah yang dituturkan sepotong-sepotong oleh suami saya (urusan bercerita, suami saya emang tergolong hemat kata – meski saya tahu ia ikut senang pada pencapaian karibnya itu), bagian paling menarik tentang Mas Haris buat saya adalah saat ia harus ‘perform’ di pembukaan Miami Biennalle. Di depan pengunjung, dia konon menggambar dengan hanya menggunakan kapur tulis. Pengunjung mengira itu bagian performa yang diagendakan panitia. Padahal, faktanya, sesuatu yang fatal tengah terjadi: lukisan yang seharusnya dipamerkan di seni akbar itu tak kunjung tiba dari Jakarta! Perusahaan ekspedisi yang dipercaya mengangkut, entah kenapa, tak memenuhi komitmen jadwal yang ditentukan. 
Alhasil, booth Haris Purnomo kosong melompong saat pameran dibuka. Di situ, ia hanya memamerkan tulisan, “Where is My Baby, DHL Lost My Paintings?

Meski mungkin pahit, namun pengalaman itu ada hikmahnya. Bukan sekadar memanen simpati pengunjung – termasuk Gloria Estefan dan Enrico Iglesias yang sengaja datang, tapi Haris Purnomo juga ketiban undangan berharga: pameran di Museum Coca di Seattle!



Merintis Kantung Budaya

Nah, sekarang ihwal kedua.

Aha, Mas Haris diam-diam menggagas projek idealis. Rumah sekaligus studio lukisnya yang besar dan lapang di kawasan Cibubur akan disulap menjadi kantung budaya. Bangunan yang dikenal sahabat-sahabatnya dengan nama “roemah 9a” itu akan menjadi tempat berekpressi, diharapkan menjadi panggung dan ladang subur bagi tumbuhnya ide-ide baru, ‘gila’, eksperimental, dan jika memungkinkan bukan mainstream. Rumah itu diimpikannya menjadi tempat yang terbuka bagi siapa saja yang ingin berdiskusi dan mengolah gagasan di bidang kesenian dan kebudayaan.

Gagasan ini sontak mengingatkan saya pada perjumpaan dengan sutradara kondang, Riri Riza, tahun lalu. Seperti Riri yang mewujudkan pendirian Rumata’ ArtSpace di Makassar sejak tahun lalu; kini Haris Purnomo pun menggagas idealisme serupa. Sebagai pecinta seni, tentu saja, gagasan itu membuat harapan saya bungah. Bukankah makin banyak kantong budaya, makin banyak peristiwa budaya? Diskusi tentang kesenian, tentu jauh lebih menyenangkan ketimbang membincangkan masyarakat dari negeri yang belakangan ini banyak diberitakan bertikai…

“Roemah 9a” menurut Mas Hendro yang mendampingi, diharapkan menjadi batu loncatan bagi para seniman (debutan), baik individu maupun kelompok, untuk menjalani proses berkeseniannya. “Dan meski sama-sama kantung budaya, kami sangat ingin di rumah itu muncul cara ungkap/ekspressi yang berbeda dengan tempat dan kantung budaya lainnya,” paparnya.

Untuk mewujudkan gagasannya, Haris Purnomo dan kawan-kawan mulai bergerilya mencari para seniman dari berbagai cabang dan genre seni. “Roemah 9a” memungkinkan terjadinya persinggungan atau kolaborasi antar atau lintas kesenian. Bahkan, dari sisi hiburan, dia ingin tetap mengedepankan hal yang bersifat apresiatif. “Kita sangat berharap bahwa tampilan ekspressi dari atau hasil suatu proses berkarya timbul dari subjeknya, dan bukan sebagai objek dari ekspressi seorang atau sekelompok orang,” katanya.

Nah, tertarik untuk terlibat dan memaknai “roemah 9a”? Gak perlu jadi orang hebat dan populer dulu untuk bisa berekpresi di sini ... (Penulis: 
Ana Mustamin) 

Sumber : baltyra.com

0 komentar:

Posting Komentar